Rabu, 03 Desember 2014

Masih Perlukah Keberadaan Bursa Derivatif Pertimahan Indonesia


MASIH PERLUKAH KEBERADAAN 
BURSA KOMODITI DERIVATIF PERTIMAHAN INDONESIA
Oleh Arka’a Ahmad Agin
Ketua Wilayah Ikatan Sarjana Nahdatul Ulama Bangka Belitung

Gubernur Bangka Belitung H. Rustam Efendi mulai mengkritisi eksistensi Bursa Komoditi Derivatif Indonesia (Indonesia Commodity Derivatives Excange) yang sering disingkat BKDI dalam pengelolaan bisnis pertimahan. Bahkan, Gubernur Bangka Belitung sebagaimana dilansir beberapa media mengatakan akan mengkaji untuk mengeluarkan rekomendasi pembubaran keterlibatan Bursa Derivatif Komoditi Indonesia soal bisnis pertimahan dan mengusahakan Badan Usaha Milik Daerah berperan dalam tata kelola bisnis pertimahan. Pernyataan Gubernur Bangka Belitung ini tentu saja mendapat tanggapan beragam dari masyarakat, khususnya para pelaku bisnis timah dan pengurus Bursa Derivatif Komoditi Indonesia.
Hal yang harus disadari bersama bahwa pernyataan Gubernur Bangka Belitung bukanlah pernyataan kosong tanpa alasan. Pernyataan ini harus menjadi bahan kajian bersama bagi seluruh pemangku kepentingan (stakeholder) yang berhubungan dengan tata kelola bisnis pertimahan. Sebagai daerah penghasil utama timah dunia, Bangka Belitung memiliki peran strategis bagi penghasilan pendapatan negara. Akan tetapi,  secara filosofis dan teknis implementatasinya semua bisnis harus mampu memberikan kontribusi yang baik bagi peningkatan pendapatan negara, khususnya bagi pendapatan daerah penghasil sumber bisnis tersebut terlebih di era otonomi daerah sekarang ini. Barangkali inilah latar belakang pemikiran Gubernur Bangka Belitung mengeluarkan pernyataan kritis beliau akan eksistensi Bursa Komoditi Derivatif Indonesia (BKDI) dalam bisnis pertimahan.

Perlu Duduk Bersama
            Tata kelola bisnis pertimahan Indonesia memang selalu mengalami dinamika yang tidak selalau berjalan mulus. Refleksi dinamika bisnis pertimahan selalu diwarnai dengan penuh permasalahan, baik ditinjau dari aspek legal-ilegalnya penambagan, konflik kepentingan antar pelaku bisnis pertambangan, dan terakhir soal eksistensi dalam bisnis pertimahan yang masih dalam polemik bagi pelaku bisnis pertimahan Indonesia yang ternyata tidak semua pengusaha bisnis pertimahan sepekat bergabung menjadi anggota Bursa Komoditi Derivatif Indonesia (BKDI). Polemik tidak boleh dibiarkan berkepanjangan, tetapi harus menemukan solusi yang saling menguntungkan, baik pemerintah, antar pelaku bisnis pertimahan, dan masyarakat.
            Pemerintah sebagai pihak yang mengatur kebijakan bisnis pertimahan bukan hanya diserahkan kepada Gubernur saja, tetapi harus menjadi keputusan bersama dengan pemerintah pusat. Jika memang diperlukan tidak hanya pada tataran kemeneterian tetapi langsung bersama Presiden. Hal ini menjadi urgen karena Presiden selaku pimpinan Pemerintah Pusat adalah penentu utama dalam menentukan arah kebijakan yang berhubungan dengan tata kelola bisnis pertimahan Indonesia. Sementara, pemerintah daerah, pengusaha pertimahan dan masyarakat adalah pihak yang hanya mengikuti saja arah irama kebijakan yang diinginkan pemerintah.
            Apabila pada tataran pemerintah sudah final, maka para pengusaha dan masyarakat akan mengikuti saja. Dengan demikian, hasil positif dari langkah duduk bersama antara pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya dalam bisnis pertimahan akan mudah tercapai. Tentu saja, pemerintah tidak boleh mengabaikan pendapat positif yang disampaikan para pengusaha dan masyarakat dalam membuat kebijakan.

Pengedepanan Rasa Keadilan
Pembentukan Bursa Komoditi Derivatif Indonesia (BKDI) karena Pemerintah Indonesia menyadari pentingnya sebuah sarana lindung nilai (Bursa Berjangka) di Indonesia atas tata kelola bisnis hasil produksi sumber daya alam Indonesia. Semenjak launching pertama eksistensi Bursa Komoditi Derivatif Indonesia 10 Desember 2010, yakni  BKDI menggelar soft launching dengan perdagangan perdana kontrak berjangka komoditi emas. Inilah tahap awal jawaban BKDI akan harapan semua lapisan rakyat Indonesia  menjadi tuan di rumahnya sendiri dalam pengaturan tata kelola bisnis sumber daya alam Indonesia. Semenjak itu, keberadaan Bursa Komoditi Indonesia pun semakin penting. Pada tahapan selanjutnya Bursa Komoditi Indonesia mulai menawarkan sektor bisnis lainnya yakni;  sektor soft agri seperti minyak kelapa sawit mentah (crude palm oil), kopi dan coklat, sektor logam seperti emas dan timah, dan sektor energi seperti  batubara dan minyak bumi mentah.
Keberadaan Bursa Komoditi Indonesia tentu akan berdaya positif  jika mampu menjamin semua produk perdangangan negeri ini yang memiliki nilai strategis dan potensial untuk perdagangan kontrak berjangka atas sumber daya alam tersebut. Selain itu, transaksi perdagangan yang disediakan BKDI bukan hanya menguntungkan pengusaha semata, tetapi yang tidak kalah penting mampu memberikan kontribusi yang baik bagi peningkatan pendapatan negara. Dalam tataran konteks pendapatan negara inilah yang kemudian harus dirasakan adanya pengedepanan rasa keadilan, khususnya bagi daerah penghasil utama sumber bisnis yang dikelola melalui Bursa Komoditi Indonesia.
Barangkali munculnya pernyataan Gubernur Bangka Belitung yang ingin membubarkan Bursa Komoditi Indonesia karena Pemerintahan Bangka Belitung secara keseluruhan merasakan belum adanya kontrisbusi yang baik bagi peningkatan pendapatan daerah. Daerah hanya mendapatkan pembagian royalti 3% saja yang memang jauh sebelum bisnis timah diatur oleh Bursa Komoditi Indonesia daerah sudah mendapatkan proporsi yang sama. Pernyataan Gubernur juga dimungkinkan kerana kurangnya komunikasi yang baik pihak Bursa Komoditi Indonesia dengan Gubernur dan para pelaku timah sehingga memunculkan persepsi kurang baik bagi pemerintah daerah. Pemerintah Bangka Belitung hanya mendapatkan beban masalah saja karena polemik antar pengusaha, yang bergabung dalam BKDI dengan yang belum bergabung. Polemik itu semakin meruncing terbukti dengan adanya penertiban olah aparat penegak hukum terhadap para pengusaha timah beberapa bulan september lalu yang secara implisit dilakukan karena adanya persoalan belum bergabung dalam Bursa Komoditi Indonesia. Selain itu, masyarakat semakin dirugikan karena harga pembelian timah  masyarakat semakin tidak menentu jika tidak ingin disebut  berada dalam pendiktean tengkulak semata.
Adanya eksis rasa keadilan inilah yang kemudian harus menjadi pemikiran bersama seluruh pemangku kepentingan dalam tata kelola bisnis pertimahan selanjutnya. Tentu saja komunikasi yang baik dan terintegrasi harus dilakukan baik pada tataran daerah maupun pusat sebagai penentu akhir arah kebijakan tata kelola bisnis pertimahan. Setelah dilakukan komunikasi dan pengakjian yang baik, barulah ditentukan langkah apakah eksistensi Bursa Komoditi Indonesia masih diperlukan dalam bisnis pertimahan dan apakah pemerintah perlu melibatkan Badan Usaha Milik Daerah dalam tata kelola bisnis pertimahan tersebut. Kebijakan pemerintah pusat pun harus pasti serta mampu memuat peraturan yang baik bagi peningkatan pendapatan daerah penghasil timah. Apabila langkah-langkah ini dijalankan dengan baik, maka  ke depan diharapakan polemik yang terjadi antar pemangku kepentingan bisnis pertimahan dapat diminimalisir dan menghasilkan banyak hal yang baik bagi negeri ini.    





0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda