Masih Perlukah Keberadaan Bursa Derivatif Pertimahan Indonesia
MASIH PERLUKAH KEBERADAAN
BURSA KOMODITI DERIVATIF PERTIMAHAN
INDONESIA
Oleh
Arka’a Ahmad Agin
Ketua
Wilayah Ikatan Sarjana Nahdatul Ulama Bangka Belitung
Gubernur
Bangka Belitung H. Rustam Efendi mulai mengkritisi eksistensi Bursa Komoditi Derivatif
Indonesia (Indonesia Commodity
Derivatives Excange) yang sering disingkat BKDI dalam pengelolaan bisnis
pertimahan. Bahkan, Gubernur Bangka Belitung sebagaimana dilansir beberapa media
mengatakan akan mengkaji untuk mengeluarkan rekomendasi pembubaran keterlibatan
Bursa Derivatif Komoditi Indonesia soal bisnis pertimahan dan mengusahakan
Badan Usaha Milik Daerah berperan dalam tata kelola bisnis pertimahan.
Pernyataan Gubernur Bangka Belitung ini tentu saja mendapat tanggapan beragam
dari masyarakat, khususnya para pelaku bisnis timah dan pengurus Bursa
Derivatif Komoditi Indonesia.
Hal
yang harus disadari bersama bahwa pernyataan Gubernur Bangka Belitung bukanlah
pernyataan kosong tanpa alasan. Pernyataan ini harus menjadi bahan kajian
bersama bagi seluruh pemangku kepentingan (stakeholder)
yang berhubungan dengan tata kelola bisnis pertimahan. Sebagai daerah penghasil
utama timah dunia, Bangka Belitung memiliki peran strategis bagi penghasilan
pendapatan negara. Akan tetapi, secara
filosofis dan teknis implementatasinya semua bisnis harus mampu memberikan
kontribusi yang baik bagi peningkatan pendapatan negara, khususnya bagi
pendapatan daerah penghasil sumber bisnis tersebut terlebih di era otonomi
daerah sekarang ini. Barangkali inilah latar belakang pemikiran Gubernur Bangka
Belitung mengeluarkan pernyataan kritis beliau akan eksistensi Bursa Komoditi Derivatif
Indonesia (BKDI) dalam bisnis pertimahan.
Perlu Duduk Bersama
Tata kelola bisnis pertimahan
Indonesia memang selalu mengalami dinamika yang tidak selalau berjalan mulus. Refleksi
dinamika bisnis pertimahan selalu diwarnai dengan penuh permasalahan, baik
ditinjau dari aspek legal-ilegalnya penambagan, konflik kepentingan antar
pelaku bisnis pertambangan, dan terakhir soal eksistensi dalam bisnis
pertimahan yang masih dalam polemik bagi pelaku bisnis pertimahan Indonesia
yang ternyata tidak semua pengusaha bisnis pertimahan sepekat bergabung menjadi
anggota Bursa Komoditi Derivatif Indonesia (BKDI). Polemik tidak boleh
dibiarkan berkepanjangan, tetapi harus menemukan solusi yang saling
menguntungkan, baik pemerintah, antar pelaku bisnis pertimahan, dan masyarakat.
Pemerintah sebagai pihak yang
mengatur kebijakan bisnis pertimahan bukan hanya diserahkan kepada Gubernur
saja, tetapi harus menjadi keputusan bersama dengan pemerintah pusat. Jika
memang diperlukan tidak hanya pada tataran kemeneterian tetapi langsung bersama
Presiden. Hal ini menjadi urgen karena Presiden selaku pimpinan Pemerintah
Pusat adalah penentu utama dalam menentukan arah kebijakan yang berhubungan
dengan tata kelola bisnis pertimahan Indonesia. Sementara, pemerintah daerah, pengusaha
pertimahan dan masyarakat adalah pihak yang hanya mengikuti saja arah irama
kebijakan yang diinginkan pemerintah.
Apabila pada tataran pemerintah
sudah final, maka para pengusaha dan masyarakat akan mengikuti saja. Dengan
demikian, hasil positif dari langkah duduk bersama antara pemerintah dan
pemangku kepentingan lainnya dalam bisnis pertimahan akan mudah tercapai. Tentu
saja, pemerintah tidak boleh mengabaikan pendapat positif yang disampaikan para
pengusaha dan masyarakat dalam membuat kebijakan.
Pengedepanan Rasa Keadilan
Pembentukan
Bursa Komoditi Derivatif Indonesia (BKDI) karena Pemerintah Indonesia menyadari
pentingnya sebuah sarana lindung nilai (Bursa Berjangka) di Indonesia atas tata
kelola bisnis hasil produksi sumber daya alam Indonesia. Semenjak launching pertama eksistensi Bursa
Komoditi Derivatif Indonesia 10 Desember 2010, yakni BKDI menggelar soft launching dengan perdagangan perdana kontrak berjangka
komoditi emas. Inilah tahap awal jawaban BKDI akan harapan semua lapisan rakyat
Indonesia menjadi tuan di rumahnya
sendiri dalam pengaturan tata kelola bisnis sumber daya alam Indonesia. Semenjak
itu, keberadaan Bursa Komoditi Indonesia pun semakin penting. Pada tahapan
selanjutnya Bursa Komoditi Indonesia mulai menawarkan sektor bisnis lainnya
yakni; sektor soft agri seperti minyak kelapa sawit mentah (crude palm oil), kopi dan coklat, sektor
logam seperti emas dan timah, dan sektor energi seperti batubara dan minyak bumi
mentah.
Keberadaan Bursa Komoditi Indonesia tentu akan berdaya positif jika mampu menjamin semua produk perdangangan
negeri ini yang memiliki nilai
strategis dan potensial untuk perdagangan kontrak berjangka atas sumber daya
alam tersebut. Selain itu, transaksi perdagangan yang disediakan BKDI bukan
hanya menguntungkan pengusaha semata, tetapi yang tidak kalah penting mampu
memberikan kontribusi yang baik bagi peningkatan pendapatan negara. Dalam
tataran konteks pendapatan negara inilah yang kemudian harus dirasakan adanya
pengedepanan rasa keadilan, khususnya bagi daerah penghasil utama sumber bisnis
yang dikelola melalui Bursa Komoditi Indonesia.
Barangkali
munculnya pernyataan Gubernur Bangka Belitung yang ingin membubarkan Bursa
Komoditi Indonesia karena Pemerintahan Bangka Belitung secara keseluruhan
merasakan belum adanya kontrisbusi yang baik bagi peningkatan pendapatan
daerah. Daerah hanya mendapatkan pembagian royalti 3% saja yang memang jauh
sebelum bisnis timah diatur oleh Bursa Komoditi Indonesia daerah sudah
mendapatkan proporsi yang sama. Pernyataan Gubernur juga dimungkinkan kerana kurangnya
komunikasi yang baik pihak Bursa Komoditi Indonesia dengan Gubernur dan para
pelaku timah sehingga memunculkan persepsi kurang baik bagi pemerintah daerah.
Pemerintah Bangka Belitung hanya mendapatkan beban masalah saja karena polemik
antar pengusaha, yang bergabung dalam BKDI dengan yang belum bergabung. Polemik
itu semakin meruncing terbukti dengan adanya penertiban olah aparat penegak
hukum terhadap para pengusaha timah beberapa bulan september lalu yang secara
implisit dilakukan karena adanya persoalan belum bergabung dalam Bursa Komoditi
Indonesia. Selain itu, masyarakat semakin dirugikan karena harga pembelian
timah masyarakat semakin tidak menentu
jika tidak ingin disebut berada dalam
pendiktean tengkulak semata.
Adanya
eksis rasa keadilan inilah yang kemudian harus menjadi pemikiran bersama
seluruh pemangku kepentingan dalam tata kelola bisnis pertimahan selanjutnya.
Tentu saja komunikasi yang baik dan terintegrasi harus dilakukan baik pada
tataran daerah maupun pusat sebagai penentu akhir arah kebijakan tata kelola
bisnis pertimahan. Setelah dilakukan komunikasi dan pengakjian yang baik,
barulah ditentukan langkah apakah eksistensi Bursa Komoditi Indonesia masih
diperlukan dalam bisnis pertimahan dan apakah pemerintah perlu melibatkan Badan
Usaha Milik Daerah dalam tata kelola bisnis pertimahan tersebut. Kebijakan
pemerintah pusat pun harus pasti serta mampu memuat peraturan yang baik bagi
peningkatan pendapatan daerah penghasil timah. Apabila langkah-langkah ini dijalankan
dengan baik, maka ke depan diharapakan
polemik yang terjadi antar pemangku kepentingan bisnis pertimahan dapat
diminimalisir dan menghasilkan banyak hal yang baik bagi negeri ini.
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda